Selasa, 13 Oktober 2009

aku akan mencoba untuk ikhlas

“ Aku akan mencoba untuk Ikhlas “


A

Apakah aku bisa menerima semua ini dengan lapang dada menerima ujian ini dengan hati yang terbuka tanpa dendam ataupun sakit hati dan jawabannya adalah aku tak mampu dengan semua ini, air mataku terus mengalir ketika kubaca lagi surat undangan itu, sebuah undangan yang mampu meluluh lantakkan segala impian dan cita-citaku, bagaimana tidak! Seorang lelaki yang amat kucintai akan bersanding dengan wanita lain tidak dengan diriku, entah mimpi atau apapun aku hanya ingin menghilang menghilang dari pandangan orang-orang. Mereka memandangku dengan pandangan memelas dan aku tak suka dengan semua ini, aku keluar dari pepustakaan, mencoba berpikir tenang mencoba menghirup segarnya angin sore, kuayun langkah kakiku menuju tempat yang paling sering kukunjungi yaitu sebuah kantin dimana ditempat itu tersimpan berjuta kenangan bersama Mas Adi, saat pertama kali mata kita beradu saat pertama kali dia memperkenalkan dirinya, saat pertama kalinya dia mengatakan bahwa dia begitu mengagumi kesederhanaanku dan pertama kalinya dia mengatakan bahwa dia begitu mencintaiku, dan ingin meminangku beberapa tahun lagi setelah dia menyelesaikan S2nya di Australia, namun itu semua sudah menjadi sebuah kenangan indah namun begitu menyakitkan ketika aku menyadari kenyataan yang ada. Saat aku sadar bahwa kenangan itu hanya akan membuatku bersedih maka kuurungkan niatku, aku berbalik arah menuju kelasku untuk mengambil beberapa buku mata kuliahku yang sengaja kutinggalkan disana, namun sebuah objek ditempat parkir membuatku kaget seseorang yang amat kukenal berdiri tegak disana, tubuhnya yang tegap dan sarat akan pesona perlahan-lahan mendekatiku, semakin mendekat sehingga jelas terlihat wajah tampan berwibawa dan mata teduhnya, dadaku berdecak keras seperti ingin meledak ingin menghambur keluar namun aku beristighfar beberapa kali, dia menunduk tanpa kata ada mimic penyesalan dalam dirinya, akupun diam menunggunya bereaksi lama kami terdiam lalu ia berkata, “ bisa kita berbicara?”, suaranya parau, aku mengumpulkan segala keberanian dan kesadaran agar tidak hanyut dalam perasaanku, “kita bisa bicara disini”, ucapku tak kalah paraunya, “lebih baik kita bicara dikantin”, ucapnya lagi ia tidak menatapku ia malah menatap pohon cemara yang bergoyang-goyang diterpa angin sore, aku sudah dapat membaca kegugupan di matanya, “aku tidak mau, kalau mas Adi ingin berbicara denganku, disini saja karena ditempat itu ada banyak kenangan yang sulit kuhapus dalam ingatanku dan aku sungguh berusaha untuk melupakan semua itu”, ucapku yang kubuat setegar mungkin agar terdengar meyakinkan bahwa aku baik-baik saja dengan semua ini, kulihat ia mengerti dan mengangguk beberapa kali, lalu ia terdiam lagi, aku menarik nafas “baiklah sebenarnya apa yang ingin mas Adi bicarakan?”, ia menatapku lekat-lekat, “entah harus bagaimana memulai hal ini…”, sebelum ia melanjutkan ucapannya aku segera menyela, “pokok intinya saja”, tegasku sarat akan amarah dan kutatap dia dengan sorot mata tajam, entah dari mana datangnya kekuatan ini namun aku merasa lebih kuat dari dugaanku sendiri, “maksudmu?”, Mas Adi menatapku tidak percaya mungkin baru kali ini ia mendengar nada ketus dari mulutku, “maksudku aku tahu yang ingin Mas Adi sampaikan, tentang pernikahan Mas Adi dengan wanita pilihan keluarga mas Adi kan, iya kan?”,serbuku, Mas Adi menunduk, “kenapa mas Adi diam? Apakah kedatangan mas Adi kesini untuk meminta maaf atas semua ini, atau meminta restu dariku? Atau ingin mengatakan kalau mas Adi tidak dapat menolak permintaan orang tua mas Adi dan ingin mengatakan bahwa sesungguhnya mas Adi masih mencintaiku seperti isi ratusan surat yang mas Adi kirim sejak dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak tertarik dengan segala bentuk alasan yang akan mas Adi sampaikan padaku, karena semua itu tidaklah penting bagiku”, ucapku panjang lebar, “Ris, aku minta maaf aku memang bersalah padamu, kesalahan fatal, namun benar katamu tadi aku tak bisa menolak permintaan seorang ibu yang sudah melahirkan aku membesarkan aku dan yang sudah rela menjagaku sampai aku bisa sesukses ini, please forgive me, kumohon dengan segenap hatiku yang terdalam aku ingin kau memaafkanku, dan jangan membenciku aku rela bersujud didepanmu agar kau mau memaafkan aku”, ucapnya begitu memohon, “aku bukan tuhan kau tak perlu melakukan hal itu”, “jika aku menceritakan jalan ceritanya kau pasti tidak akan mempercayainya, karena aku tahu hatimu sudah tertutupi oleh rasa benci yang mendalam terhadapku, sehingga sekarang kau takkan pernah mau mempercayaiku lagi”, ucapnya dengan nada putus asa, namun sumpah aku tak bisa membenci lelaki didepanku ini, rasa cintaku menolak segala kebencian yang seharusnya terjadi, “tapi kau harus tahu satu hal bahwa aku sangat mencintaimu dan takkan bisa tergantikan oleh siapapun”, ada kesungguhan yang luar biasa disetiap kata yang diucapkannya, “jika memang begitu kenyataannya kenapa mas Adi tak mau menolak perjodohan itu, kenapa mas? Kenapa?”, pekikku tertahan namun sarat akan kepedihan, “karena aku tak bisa menolak keinginan orang tuaku Ris, kau tahu aku berada disebuah pilihan yang sulit”, jelasnya lagi, aku menelan ludah getir, “kesalahanmu adalah kau tak pernah mengenalkan aku pada keluargamu”, ucapku melemah, Mas Adi menatapku dengan wajah yang memelas, “aku tahu dan aku menyesali hal itu, aku memang egois”, ucapan itu seperti ditujukan untuk dirinya sendiri, lalu kami diam dengan pikiran masing-masing, kami masih berdiri didepan gedung perpustakaan kampus, kami sama-sama kalut dengan pikiran kami, bagaikan buah simalakama kalau dia memilihku maka ia akan menjadi anak durhaka, dan kalau dia akan menuruti permintaan orangtuanya maka dia akan membiarkanku terluka. Entah akan bertahan berapa lama suasana tidak menyenangkan ini akan berlangsung, kebisuan ini membuatku tersiksa, aku menarik nafas panjang, “aku harus pergi mas”, ucapku berusaha menyudahi segala kebodohan ini, Mas Adi mengangguk pelan seolah tak rela dengan kata-kataku tadi, “kita tidak usah menyesali segala yang terjadi, karena itu tidak akan merubah keadaan, aku ikhlas mas jika itu bisa membuat mas Adi bahagia, membuat keluarga mas bahagia, toh cinta tak harus memiliki kan? Aku akan belajar menerima semua ini aku tidak akan dendam terhadap mas Adi dan keluarga mas Adi, aku akan berusaha menghapus segala kenangan kita berdua dan aku berjanji aku tidak akan menganggu kehidupan mas Adi lagi”, ucapku parau berusaha menyembunyikan wajahku yang mungkin memerah menahan tangis dan mataku yang mulai kurasakan basah siap mengalirkan air mata kepedihanku, aku berjalan memunggunginya segala aliran dasyat dari hatiku bergejolak tidak terima dengan kata-kataku tadi, ini sangat bertolak belakang namun inilah jalan yang harus kutempuh pergi sejauh mungkin dari kehidupannya dan akan mencoba kehidupan baru dengan menghapus memory-memory masa laluku. Aku terus berjalan, aku tak mau menoleh kebelakang aku tak mau menoleh kemasa laluku dan aku tak mau menatap wajah itu yang mungkin akan menghentikan langkahku, tangisku pecah disepanjang koridor kampus hatiku tersayat-sayat, segala impian yang kubangun beberapa tahun yang lalu runtuh begitu saja, entah akan berapa lama aku akan bisa mengobati luka ini, aku akan selalu berharap bahwa Allah akan memberiku jalan yang terbaik dimana aku akan menemukan sebuah kebahagiaan yang tidak akan menyakitkan satu sisi lainnya, langkahku semakin kupacu meninggalkan reruntuhan hatiku disepanjang koridor, aku berjalan bagaikan tanpa arah aku kehilangan segala keindahan yang pernah kumiliki, segala keindahan yang pernah hadir menyemangati kehidupanku, namun semua itu hanya tinggal puing-puing sejarah yang begitu indah namun menyakitkan. Aku akan berusahauntuk melupakan semuanya dan menghadapi hari baru, aku akan mnejadi lebih tegar aku akan menguatkan hatiku untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin jauh lebih parah dari ini namun aku siap karena Allah ada bersamaku.

Unisel, 9th June 2009

By. Susiyanti